Menurut Sutardjo Kartohadikusuma
mengemukakan bahwa desa adalah kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri.
Menurut Bintarto, desa merupakan
perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang
terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara
timbal-balik dengan daerah lain.
Menurut Paul H. Landis, desa adalah
penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.
Ciri-Ciri
Masyarakat Pedesaan
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara
lain sebagai berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan di antara
warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan
dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok
dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau Paguyuban).
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan
hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan
pekerjaan sambilan (part time) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencarian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan di
Indonesia pada umumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Homogenitas Sosial
Bahwa masyarakat desa pada umumnya
terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah
laku maupun kebudayaan sama/homogen. Oleh karena itu hidup di desa biasanya
terasa tenteram aman dan tenang. Hal ini disebabkan oleh pola pikir, pola
penyikap dan pola pandangan yang sama dari setiap warganya dalam menghadapi
suatu masalah. Kebersamaan, kesederhanaan keserasian dan kemanunggalang selalu
menjiwai setiap warga masyarakat desa tersebut.
2.
Hubungan Primer
Masyarakat desa hubungan
kekeluargaan dilakukan secara musyawarah. Mulai masalah-masalah umum sampai
masalah pribadi. Anggota masyarakat satu dengan yang lain saling mengenal
secara intim. Pada masyarakat desa masalah kebersamaan dan gotong royong sangat
diutamakan.
3.
Kontrol Sosial yang Ketat
Di atas dikemukakan bahwa hubungan
pada masyarakat pedesaan sangat intim dan diutamakan, sehingga setiap anggota
masyarakatnya saling mengetahui masalah yang dihadapi anggota yang lain. Bahkan
ikut mengurus terlalu jauh masalah dan kepentingan dari anggota masyarakat yang
lain. Kekurangan dari salah satu anggota masyarakat, adalah merupakan kewajiban
anggota yang lain untuk menyoroti dan membenahinya.
4.
Gotong Royong
Nilai-nilai gotong royong pada
masyarakat pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya. Semua masalah kehidupan
dilaksanakan secara gotong royong, baik dalam arti gotong royong murni maupun
gotong royong timbal balik. Gotong royong murni dan sukarela misalnya :
melayat, mendirikan rumah dan sebagainya. Sedangkan gotong royong timbal balik
misalnya : mengerjakan sawah, nyumbang dalam hajat tertentu dan sebagainya.
5.
Ikatan Sosial
Setiap anggota masyaratkan desa
diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. Bagi anggota yang
tidak memenuhi norma dan kaidah yang sudah disepakati, akan dihukum dan
dikeluarkan dari ikatan sosial dengan cara mengucilkan/memencilkan. Oleh karena
itu setiap anggota harus patuh dan taat melaksanakan aturan yang ditentukan.
Lebih-lebih bagi anggota yang baru datang, ia akan diakui menjadi anggota
masyarakat tersebut (ikatan sosial tersebut)
6.
Magis Religius
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap kegiatan kehidupan
sehari-hari dijiwai bahkan diarahkan kepadanya. Sering kita jumpai orang Jawa
mengadakan selamatan-selamatan untuk meminta rezeki, minta perlindungan, minta
diampuni dan sebagainya.
7.
Pola Kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian
di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada
umumnya setiap anggota hanya mampu melaksanakan salah satu bidang kehidupan
saja. Misalnya para petani, bahwa pertanian merupakan satu-satunya pekerjaan
yang harus ia tekuni dengan baik. Bilamana bidang pertanian tersebut
kegiatannya kosong, maka ia hanya menunggu sampai ada lagi kegiatan di bidang
pertanian.
Disamping itu dalam
mengolah pertanian semata-mata tetap/tidak ada perubahan atau kemajuan. Hal ini
disebabkan pengetahuan dan keterampilan para petani yang masih kurang memadai.
Oleh karena itu masyarakat desa sering dikatakan masyarakat yang statis dan
menonton.
Masyarakat pedesaan
yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang
kota sebagai masyarakat tentang damai dan harmonis sehingga oleh orang kota
dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan,
keramaian, dan keruwetan atau kekusutan pikir.
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebenarnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat Gemeinschaft (Paguyuban).
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebenarnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat Gemeinschaft (Paguyuban).
Jadi Paguyuban
masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat
itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.
Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan ini mengenal bermacam-macam
gejala, khususnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat
pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.
Perbedaan
Masyarakat Pedesaan dengan Masyarakat Perkotaan
Masyarakat pedesaan
kehidupannya berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan-perbedaan ini
berasal dari adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan personalitas dan
segi-segi kehidupan. Mengenal ciri-ciri masyarakat pedesaan akan lebih mudah
dan lebih baik dengan membandingkannya dengan kehidupan masyarakat perkotaan.
Untuk menjelaskan perbedaan atau ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut,
dapat ditelusuri dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam,
pekerjaan, ukuran komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas,
diferensiasi sosial, pelapisan sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial,
pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial,
dan nilai atau sistem nilainya.
1.
Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap
Alam
Masyarakat pedesaan berhubungan
kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografinya di daerah desa. Penduduk
yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dan
hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Berbeda
dengan penduduk yang tinggal di kota, yang kehidupannya “bebas” dari realitas
alam.
2.
Pekerjaan atau Mata Pencaharian
Pada umumnya atau kebanyakan mata
pencaharian daerah pedesaan adalah bertani dan berdagang sebagai pekerjaan
sekunder. Namun di masyarakat perkotaan, mata pencaharian cenderung menjadi
terspesialisasi, dan spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan.
3.
Ukuran Komunitas
Dalam mata pencaharian di bidang
pertanian, imbangan tanah dengan manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan
industri; dan akibatnya daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per
kilometer perseginya. Oleh karena itu, komunitas pedesaan lebih kecil daripada komunitas
perkotaan.
4.
Kepadatan Penduduk
Penduduk desa kepadatannya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota. Kepadatan penduduk
suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu
sendiri.
5.
Homogenitas dan Heterogenitas
Homogenitas atau persamaan dalam
ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan
perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan
masyarakat perkotaan.
Di kota sebaliknya, penduduk heterogen terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian.
Di kota sebaliknya, penduduk heterogen terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian.
6.
Diferensiasi Sosial
Keadaan heterogen dari penduduk
kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi sosial.
Kenyataan ini bertentangan dengan bagian-bagian kehidupan di masyarakat
pedesaan. Tingkat homogenitas alami ini cukup tinggi, dan relatif berdiri
sendiri dengan derajat yang rendah daripada diferensiasi sosial.
7.
Pelapisan Sosial
Kelas sosial di dalam masyarakat
sering nampak dalam perwujudannya seperti “piramida sosial”, yaitu kelas-kelas
yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada di antara
kedua tingkat kelas ekterm dari masyarakat.
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” ini antara masyarakat desa dan masyarakat kota yakni dalam aspek kehidupan pekerjaannya, kesenjangan antara kelas ekstremnya, serta ketentuan kasta dan contoh-contoh perilakunya.
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” ini antara masyarakat desa dan masyarakat kota yakni dalam aspek kehidupan pekerjaannya, kesenjangan antara kelas ekstremnya, serta ketentuan kasta dan contoh-contoh perilakunya.
8.
Mobilitas Sosial
Mobilitas sering terjadi di kota
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Mobilitas teritorial (wilayah) di kota
lebih sering ditemukan daripada di daerah pedesaan. Hal lain, mobilitas atau
perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) lebih banyak ketimbang dari
kota ke desa. Pergerakannya dapat terjadi secara bertahap, baik arahnya secara
horizontal ataupun vertikal. Kebiasaan tersebut di desa kurang terlihat, dan di
kota lebih memungkinkan dengan waktu yang relatif singkat.
9.
Interaksi Sosial
Tipe interaksi sosial di desa dan
di kota perbedaannya sangat kontras, baik aspek kualitasnya maupun
kuantitasnya, diantaranya:
a.
Masyarakat pedesaan lebih sedikit
jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah, maka kontak pribadi per
individu lebih sedikit.
b.
Penduduk kota lebih sering kontak,
tetapi cenderung formal sepintas lalu, dan tidak bersifat pribadi (impersonal),
tetapi melalui tugas atau kepentingan yang lain. Di desa kontak sosial terjadi
lebih banyak dengan tatap muka, ramah-tamah (informal), dan pribadi.
10. Pengawasan
Sosial
Tekanan sosial oleh masyarakat di
pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah-tamah
(informal), dan keadaan masyarakatnya yang homogen. Di kota pengawasn sosial
lebih bersifat formal, pribadi, kurang “terkena” aturan yang ditegakkan, dan
peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.
11. Pola
Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di daerah
pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu
dibandingkan dengan kota. Keadaan ini disebabkan oleh lebih luasnya kontak
tatap muka, dan individu lebih banyak saling mengetahui daripada di daerah
kota.
12. Standar
Kehidupan
Di kota, dengan konsentrasi dan
jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan
kebutuhan tersebut, sedangkan di desa terkadang tidak demikian. Orientasi hidup
dan pola berpikir masyarakat desa yang sederhana dan standar hidup demikian
kurang mendapat perhatian.
13. Kesetiakawanan
Sosial
Kesetiakawanan sosial (social
solidarity) atau kepanduan dan kesatuan, pada masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan banyak ditentukan oleh masing-masing faktor yang berbeda.
14. Nilai
dan Sistem Nilai
Nilai dan sistem nilai di desa
dengan di kota berbeda, dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang
berlaku. Masyarakat pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga, dalam
masalah pola bergaul dan mencari jodoh kepada keluarga masih berperan. Dalam
hal ini, masyarakat kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem
nilai di desa.
Sumber: http://illaphuw.blogspot.com/2010/11/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat.html
Menurut Sutardjo Kartohadikusuma
mengemukakan bahwa desa adalah kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri.
Menurut Bintarto, desa merupakan
perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang
terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara
timbal-balik dengan daerah lain.
Menurut Paul H. Landis, desa adalah
penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.
Ciri-Ciri
Masyarakat Pedesaan
Ciri-ciri masyarakat pedesaan antara
lain sebagai berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan di antara
warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan
dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok
dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau Paguyuban).
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan
hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan
pekerjaan sambilan (part time) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencarian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Ciri-ciri masyarakat pedesaan di
Indonesia pada umumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Homogenitas Sosial
Bahwa masyarakat desa pada umumnya
terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah
laku maupun kebudayaan sama/homogen. Oleh karena itu hidup di desa biasanya
terasa tenteram aman dan tenang. Hal ini disebabkan oleh pola pikir, pola
penyikap dan pola pandangan yang sama dari setiap warganya dalam menghadapi
suatu masalah. Kebersamaan, kesederhanaan keserasian dan kemanunggalang selalu
menjiwai setiap warga masyarakat desa tersebut.
2.
Hubungan Primer
Masyarakat desa hubungan
kekeluargaan dilakukan secara musyawarah. Mulai masalah-masalah umum sampai
masalah pribadi. Anggota masyarakat satu dengan yang lain saling mengenal
secara intim. Pada masyarakat desa masalah kebersamaan dan gotong royong sangat
diutamakan.
3.
Kontrol Sosial yang Ketat
Di atas dikemukakan bahwa hubungan
pada masyarakat pedesaan sangat intim dan diutamakan, sehingga setiap anggota
masyarakatnya saling mengetahui masalah yang dihadapi anggota yang lain. Bahkan
ikut mengurus terlalu jauh masalah dan kepentingan dari anggota masyarakat yang
lain. Kekurangan dari salah satu anggota masyarakat, adalah merupakan kewajiban
anggota yang lain untuk menyoroti dan membenahinya.
4.
Gotong Royong
Nilai-nilai gotong royong pada
masyarakat pedesaan tumbuh dengan subur dan membudaya. Semua masalah kehidupan
dilaksanakan secara gotong royong, baik dalam arti gotong royong murni maupun
gotong royong timbal balik. Gotong royong murni dan sukarela misalnya :
melayat, mendirikan rumah dan sebagainya. Sedangkan gotong royong timbal balik
misalnya : mengerjakan sawah, nyumbang dalam hajat tertentu dan sebagainya.
5.
Ikatan Sosial
Setiap anggota masyaratkan desa
diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. Bagi anggota yang
tidak memenuhi norma dan kaidah yang sudah disepakati, akan dihukum dan
dikeluarkan dari ikatan sosial dengan cara mengucilkan/memencilkan. Oleh karena
itu setiap anggota harus patuh dan taat melaksanakan aturan yang ditentukan.
Lebih-lebih bagi anggota yang baru datang, ia akan diakui menjadi anggota
masyarakat tersebut (ikatan sosial tersebut)
6.
Magis Religius
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap kegiatan kehidupan
sehari-hari dijiwai bahkan diarahkan kepadanya. Sering kita jumpai orang Jawa
mengadakan selamatan-selamatan untuk meminta rezeki, minta perlindungan, minta
diampuni dan sebagainya.
7.
Pola Kehidupan
Masyarakat desa bermata pencaharian
di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Pada
umumnya setiap anggota hanya mampu melaksanakan salah satu bidang kehidupan
saja. Misalnya para petani, bahwa pertanian merupakan satu-satunya pekerjaan
yang harus ia tekuni dengan baik. Bilamana bidang pertanian tersebut
kegiatannya kosong, maka ia hanya menunggu sampai ada lagi kegiatan di bidang
pertanian.
Disamping itu dalam
mengolah pertanian semata-mata tetap/tidak ada perubahan atau kemajuan. Hal ini
disebabkan pengetahuan dan keterampilan para petani yang masih kurang memadai.
Oleh karena itu masyarakat desa sering dikatakan masyarakat yang statis dan
menonton.
Masyarakat pedesaan
yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang
kota sebagai masyarakat tentang damai dan harmonis sehingga oleh orang kota
dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan,
keramaian, dan keruwetan atau kekusutan pikir.
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebenarnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat Gemeinschaft (Paguyuban).
Maka tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebenarnya ketenangan masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat Gemeinschaft (Paguyuban).
Jadi Paguyuban
masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat
itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem.
Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan ini mengenal bermacam-macam
gejala, khususnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat
pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.
Perbedaan
Masyarakat Pedesaan dengan Masyarakat Perkotaan
Masyarakat pedesaan
kehidupannya berbeda dengan masyarakat perkotaan. Perbedaan-perbedaan ini
berasal dari adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan personalitas dan
segi-segi kehidupan. Mengenal ciri-ciri masyarakat pedesaan akan lebih mudah
dan lebih baik dengan membandingkannya dengan kehidupan masyarakat perkotaan.
Untuk menjelaskan perbedaan atau ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut,
dapat ditelusuri dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam,
pekerjaan, ukuran komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas,
diferensiasi sosial, pelapisan sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial,
pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial,
dan nilai atau sistem nilainya.
1.
Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap
Alam
Masyarakat pedesaan berhubungan
kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografinya di daerah desa. Penduduk
yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dan
hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Berbeda
dengan penduduk yang tinggal di kota, yang kehidupannya “bebas” dari realitas
alam.
2.
Pekerjaan atau Mata Pencaharian
Pada umumnya atau kebanyakan mata
pencaharian daerah pedesaan adalah bertani dan berdagang sebagai pekerjaan
sekunder. Namun di masyarakat perkotaan, mata pencaharian cenderung menjadi
terspesialisasi, dan spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan.
3.
Ukuran Komunitas
Dalam mata pencaharian di bidang
pertanian, imbangan tanah dengan manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan
industri; dan akibatnya daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per
kilometer perseginya. Oleh karena itu, komunitas pedesaan lebih kecil daripada komunitas
perkotaan.
4.
Kepadatan Penduduk
Penduduk desa kepadatannya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota. Kepadatan penduduk
suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu
sendiri.
5.
Homogenitas dan Heterogenitas
Homogenitas atau persamaan dalam
ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan
perilaku sering nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan
masyarakat perkotaan.
Di kota sebaliknya, penduduk heterogen terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian.
Di kota sebaliknya, penduduk heterogen terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, dan mata pencaharian.
6.
Diferensiasi Sosial
Keadaan heterogen dari penduduk
kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi sosial.
Kenyataan ini bertentangan dengan bagian-bagian kehidupan di masyarakat
pedesaan. Tingkat homogenitas alami ini cukup tinggi, dan relatif berdiri
sendiri dengan derajat yang rendah daripada diferensiasi sosial.
7.
Pelapisan Sosial
Kelas sosial di dalam masyarakat
sering nampak dalam perwujudannya seperti “piramida sosial”, yaitu kelas-kelas
yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada di antara
kedua tingkat kelas ekterm dari masyarakat.
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” ini antara masyarakat desa dan masyarakat kota yakni dalam aspek kehidupan pekerjaannya, kesenjangan antara kelas ekstremnya, serta ketentuan kasta dan contoh-contoh perilakunya.
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” ini antara masyarakat desa dan masyarakat kota yakni dalam aspek kehidupan pekerjaannya, kesenjangan antara kelas ekstremnya, serta ketentuan kasta dan contoh-contoh perilakunya.
8.
Mobilitas Sosial
Mobilitas sering terjadi di kota
dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Mobilitas teritorial (wilayah) di kota
lebih sering ditemukan daripada di daerah pedesaan. Hal lain, mobilitas atau
perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) lebih banyak ketimbang dari
kota ke desa. Pergerakannya dapat terjadi secara bertahap, baik arahnya secara
horizontal ataupun vertikal. Kebiasaan tersebut di desa kurang terlihat, dan di
kota lebih memungkinkan dengan waktu yang relatif singkat.
9.
Interaksi Sosial
Tipe interaksi sosial di desa dan
di kota perbedaannya sangat kontras, baik aspek kualitasnya maupun
kuantitasnya, diantaranya:
a.
Masyarakat pedesaan lebih sedikit
jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah, maka kontak pribadi per
individu lebih sedikit.
b.
Penduduk kota lebih sering kontak,
tetapi cenderung formal sepintas lalu, dan tidak bersifat pribadi (impersonal),
tetapi melalui tugas atau kepentingan yang lain. Di desa kontak sosial terjadi
lebih banyak dengan tatap muka, ramah-tamah (informal), dan pribadi.
10. Pengawasan
Sosial
Tekanan sosial oleh masyarakat di
pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah-tamah
(informal), dan keadaan masyarakatnya yang homogen. Di kota pengawasn sosial
lebih bersifat formal, pribadi, kurang “terkena” aturan yang ditegakkan, dan
peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.
11. Pola
Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di daerah
pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu
dibandingkan dengan kota. Keadaan ini disebabkan oleh lebih luasnya kontak
tatap muka, dan individu lebih banyak saling mengetahui daripada di daerah
kota.
12. Standar
Kehidupan
Di kota, dengan konsentrasi dan
jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan
kebutuhan tersebut, sedangkan di desa terkadang tidak demikian. Orientasi hidup
dan pola berpikir masyarakat desa yang sederhana dan standar hidup demikian
kurang mendapat perhatian.
13. Kesetiakawanan
Sosial
Kesetiakawanan sosial (social
solidarity) atau kepanduan dan kesatuan, pada masyarakat pedesaan dan
masyarakat perkotaan banyak ditentukan oleh masing-masing faktor yang berbeda.
14. Nilai
dan Sistem Nilai
Nilai dan sistem nilai di desa
dengan di kota berbeda, dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang
berlaku. Masyarakat pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga, dalam
masalah pola bergaul dan mencari jodoh kepada keluarga masih berperan. Dalam
hal ini, masyarakat kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem
nilai di desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar